« »
« »
« »
Get this widget

2.27.2011

Berbagai Kebijakan Perubahan Kurikulum di Indonesia

Membentuk manusia yang good and smart adalah filosofi dasar pendidikan menurut Socrates pada 2400 tahun yang lalu. Berbicara tentang pendidikan tidak akan terlepas dari kegiatan belajar mengajar yang berlangsung di sekolah. Kegiatan belajar mengajar tidak dapat terlepas dari kurikulum yang sedang berlaku saat itu. Kurikulum merupakan salah satu hal yang cukup vital bagi dunia pendidikan. Sejak Indonesia merdeka, kurikulum yang ada di Indonesia telah mengalami perubahan beberapa kali.

Sumarsono dalama makalahnya yang berjudul Perjalanan Kurikulum di Indonesia menjelaskan bahwa perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah
mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004
dan 2006. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan
sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan
bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu
dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di
masyarakat.

Perubahan-perubahan yang terjadi tersebut dimaksudkan untuk membuat sistem pendidikan di Indonesia semakin membaik, namun apakah sistem pendidikan di Indonesia saat ini telah sesuai dengan tujuan pendidikan?

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan kurikulum, antara lain:

1. Bebasnya sejumlah wilayah tertentu di dunia dari cengkraman penjajahan. Dengan kata lain merdekanya suatu bangsa dari negara lain. Dengan merdekanya negara tersebut, mereka menyadari bahwa sistem pendidikan selama ini tidak sesuai dengan cita-cita nasional mereka. Contohnya adalah negara Indonesia yang bebas dari belenggu penjajahan Belanda. Dengan merdekanya Indonesia, maka Indonesia membuat sistem pendidikan tersendiri.
2. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat.
3. Pertumbuhan pesat pendidikan dunia. Dengan betambahnya penduduk makin bertambah pula jumlah orang yang membutuhkan pendidikan. Hal ini menyebabkan bahwa cara atau pendekatan yang telah digunakan selama ini perlu ditinjau kembali. (Hendyat Sopetope dan Wasty Soemanto, 1993:41-41)

Berikut ini adalah perjalanan kurikulum di Indonesia.

Kurikulum 1947 - Kurikulum Rentjana Pelajaran 1947
Pada tahun 1947, kurikulum saat itu diberi nama Rentjana Pelajaran 1947. Pada saat itu, kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan sebelumnya. Rentjana Pelajaran 1947 boleh dikatakan sebagai pengganti sistem pendidikan kolonial Belanda. Karena suasana kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan maka pendidikan sebagai development conformism lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi ini.
Kurikulum 1952 - Kurikulum Rentjana Pelajaran Terurai 1952
Pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan. Pada tahun 1952 ini diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling menonjol dan sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
Kurikulum 1964 - Kurikulum Rentjana Pendidikan 1964
Menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum di Indonesia. Kali ini diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana, yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, dan jasmani.
Kurikulum 1968 – Pembaharuan Kurikulum 1964
Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari Kurikulum 1964, yaitu dilakukannya perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Dari segi tujuan pendidikan, Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.

Kurikulum 1975 – Pengganti Kurikulum 1968
Kurikulum 1975 sebagai pengganti kurikulum 1968 menggunakan pendekatan-pendekatan di antaranya sebagai berikut.

• Berorientasi pada tujuan
• Menganut pendekatan integrative dalam arti bahwa setiap pelajaran memiliki arti dan peranan yang menunjang kepada tercapainya tujuan-tujuan yang lebih integratif.
• Menekankan kepada efisiensi dan efektivitas dalam hal daya dan waktu.
• Menganut pendekatan sistem instruksional yang dikenal dengan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Sistem yang senantiasa mengarah kepada tercapainya tujuan yang spesifik, dapat diukur dan dirumuskan dalam bentuk tingkah laku siswa.
• Dipengaruhi psikologi tingkah laku dengan menekankan kepada stimulus respon (rangsang-jawab) dan latihan (drill).

Kurikulum 1984 - Kurikulum cara belajar siswa aktif (CBSA)

Kurikulum 1984 tampil sebagai perbaikan atau revisi terhadap kurikulum 1975. Kurikulum 1984 memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

• Berorientasi kepada tujuan instruksional. Didasari oleh pandangan bahwa pemberian pengalaman belajar kepada siswa dalam waktu belajar yang sangat terbatas di sekolah harus benar-benar fungsional dan efektif. Oleh karena itu, sebelum memilih atau menentukan bahan ajar, yang pertama harus dirumuskan adalah tujuan apa yang harus dicapai siswa.
• Pendekatan pengajarannya berpusat pada anak didik melalui cara belajar siswa aktif (CBSA). CBSA adalah pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif terlibat secara fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan harapan siswa memperoleh pengalaman belajar secara maksimal, baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor.
• Materi pelajaran dikemas dengan nenggunakan pendekatan spiral. Spiral adalah pendekatan yang digunakan dalam pengemasan bahan ajar berdasarkan kedalaman dan keluasan materi pelajaran. Semakin tinggi kelas dan jenjang sekolah, semakin dalam dan luas materi pelajaran yang diberikan.
• Menanamkan pengertian terlebih dahulu sebelum diberikan latihan. Konsep-konsep yang dipelajari siswa harus didasarkan kepada pengertian, baru kemudian diberikan latihan setelah mengerti. Untuk menunjang pengertian alat peraga sebagai media digunakan untuk membantu siswa memahami konsep yang dipelajarinya.
• Materi disajikan berdasarkan tingkat kesiapan atau kematangan siswa. Pemberian materi pelajaran berdasarkan tingkat kematangan mental siswa dan penyajian pada jenjang sekolah dasar harus melalui pendekatan konkret, semikonkret, semiabstrak, dan abstrak dengan menggunakan pendekatan induktif dari contoh-contoh ke kesimpulan. Dari yang mudah menuju ke sukar dan dari sederhana menuju ke kompleks.
• Menggunakan pendekatan keterampilan proses. Keterampilan proses adalah pendekatan belajat mengajar yang memberi tekanan kepada proses pembentukkan keterampilan memperoleh pengetahuan dan mengkomunikasikan perolehannya. Pendekatan keterampilan proses diupayakan dilakukan secara efektif dan efesien dalam mencapai tujuan pelajaran.

Karakteristik sekolah CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif)

- Pembelajaran yang lebih berpusat pada siswa, sehingga siswa berperan lebih aktif dengan mengembangkan cara-cara belajar mandiri, siswa berperan serta pada perencanaan, pelaksanaan, penilaian proses belajar, pengalaman siswa lebih diutamakan dalam memutuskan titik tolak kegiatan.
- Guru adalah pembimbing dalam terjadinya pengalaman belajar. Guru merupakan salah satu sumber belajar. Dengan demikian siswa lebih berpeluang untuk mencari pengetahuan/keterampilan dengan usaha sendiri.
- Tujuan kegiatan tidak hanya untuk sekedar mengejar standar akademis selain kegiatan ditekankan untuk mengembangkan kemampuan siswa secara utuh.
- Pengelolaan kegiatan pembelajaran lebih menekankan pada kreativitas siswa dan memperhatikan kemajuan siswa untuk menguasai konsep-konsep dengan mantap.
- Penilaian, dilaksanakan untuk mengamati dan mengukur kegiatan dan kemjuan siswa, serta mengukur berbagai kegiatan/keterampilan yang dikembangkan misalnya berbahasa. (Dimyati dan Mudjiono, 2006:117-118)

Kurikulum 1994 – Penyempurnaan Kurikulum 1984

Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang no. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini berdampak pada sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup banyak.

Terdapat ciri-ciri yang menonjol dari pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya sebagai berikut.
• Pembagian tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem caturwulan
• Pembelajaran di sekolah lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi)
• Kurikulum 1994 bersifat populis, yaitu yang memberlakukan satu sistem kurikulum untuk semua siswa di seluruh Indonesia. Kurikulum ini bersifat kurikulum inti sehingga daerah yang khusus dapat mengembangkan pengajaran sendiri disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan masyarakat sekitar.
• Dalam pelaksanaan kegiatan, guru hendaknya memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial. Dalam mengaktifkan siswa guru dapat memberikan bentuk soal yang mengarah kepada jawaban konvergen, divergen (terbuka, dimungkinkan lebih dari satu jawaban), dan penyelidikan.
• Dalam pengajaran suatu mata pelajaran hendaknya disesuaikan dengan kekhasan konsep/pokok bahasan dan perkembangan berpikir siswa, sehingga diharapkan akan terdapat keserasian antara pengajaran yang menekankan pada pemahaman konsep dan pengajaran yang menekankan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.
• Pengajaran dari hal yang konkrit ke hal yang abstrak, dari hal yang mudah ke hal yang sulit, dan dari hal yang sederhana ke hal yang komplek.
• Pengulangan-pengulangan materi yang dianggap sulit perlu dilakukan untuk pemantapan pemahaman siswa.
Selama dilaksanakannya kurikulum 1994 muncul beberapa permasalahan, terutama sebagai akibat dari kecenderungan kepada pendekatan penguasaan materi (content oriented), di antaranya sebagai berikut.
• Beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran dan banyaknya materi/substansi setiap mata pelajaran
• Materi pelajaran dianggap terlalu sukar karena kurang relevan dengan tingkat perkembangan berpikir siswa, dan kurang bermakna karena kurang terkait dengan aplikasi kehidupan sehari-hari.

Kurikulum 2004 – KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi)

Siskandar (mantan kepala pusat kurikulum Depdiknas) menjelaskan bahwa KBK adalah pengembangan kurikulum yang bertitik tolak dari kompetisi yang seharusnya dimiliki siswa setelah menyelesaikan pendidikan, yang meliputi pengetahuan, keterampilan, nilai dan pola berpikir serta bertindak sebagai reflesi dari pemahaman dan penghayatan dari apa yang dipelajari siswa.

Abdurrahma Saleh: KBK adalah perangkat standar program pendidikan yang dapat mengantarkan siswa untuk menjadi kompeten dalam berbagai bidang kehidupan yang dipelajarinya.

Dilihat dari pengertian dua orang tokoh pendidikan ini, jelas bahwa Kurikulum Berbasis Kompetensi lebih menekankan “kompetensi”. Lebih lanjut, kompetensi yang dimaksud adalah pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai yang direflesikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. (Dede Rosyada, 2004:47)

Pada kurikulum tahun 1994 dan sebelumnya rumusan kompetensi diformat dalam bentuk rumusan tujuan, yang disusun secara hirarkis dari tujuan nasional, institusional, tujuan kurikulum, tujuan pembelajaran umum dan khusus.

Kurikulum 1994 perlu disempurnakan lagai sebagai respon terhadap perubahan struktural dalam pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik sebagai konsekuensi logis dilaksanakannya UU No. 22 dan 25 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Kurikukum yang dikembangkan saat itu diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi. Pendidikan berbasis kompetensi menitikberatkan pada pengembangan kemampuan untuk melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan standar performance yang telah ditetapkan. Competency Based Education is education geared toward preparing indivisuals to perform identified competencies (Scharg dalam Hamalik, 2000: 89). Hal ini mengandung arti bahwa pendidikan mengacu pada upaya penyiapan individu yang mampu melakukan perangkat kompetensi yang telah ditentukan. Implikasinya adalah perlu dikembangkan suatu kurikulum berbasis kompetensi sebagai pedoman pembelajaran.

Sejalan dengan visi pendidikan yang mengarahkan pada dua pengembangan, yaitu untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan kebutuhan masa datang, maka pendidikan di sekolah dititipi seperangkat misi dalam bentuk paket-paket kompetensi.

Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan perangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah. Kurikulum Berbasis Kompetensi berorientasi pada: (1) hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna, dan (2) keberagaman yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhannya (Puskur, 2002a).

Kurikulum Berbasis Kompetensi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

• Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
• Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
• Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
• Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
• Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.

Kurikulum 2006 - KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)

KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan dimasing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan dan silabus. Pengembangan KTSP yang beragam mengacu kepada standar nasional pendidikan untuk menjalin tujuan pendidikan nasional. (Sri Sulistyorini, 2007:21-22)

Implementasi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, yaitu: (1)standar isi, (2)standar proses, (3)standar kompetensi lulusan, (4)standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5)standar sarana dan prasarana, (6)standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan (7)standar penilaian pendidikan.

Kurikulum dipahami sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu, maka dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, pemerintah telah menggiring pelaku pendidikan untuk mengimplementasikan kurikulum dalam bentuk kurikulum tingkat satuan pendidikan, yaitu kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di setiap satuan pendidikan.

Secara substansial, pemberlakuan (baca: penamaan) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) lebih kepada mengimplementasikan regulasi yang ada, yaitu PP No. 19/2005. Akan tetapi, esensi isi dan arah pengembangan pembelajaran tetap masih bercirikan tercapainya paket-paket kompetensi (dan bukan pada tuntas tidaknya sebuah subject matter).
Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.

Terdapat perbedaan mendasar dibandingkan dengan kurikulum berbasis kompetensi sebelumnya (versi 2002 dan 2004), bahwa sekolah diberi kewenangan penuh menyusun rencana pendidikannya dengan mengacu pada standar-standar yang telah ditetapkan, mulai dari tujuan, visi – misi, struktur dan muatan kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan, hingga pengembangan silabusnya.

Ujian Nasional Indonesia

Pelaksanaan Ujian Nasional di Indonesia telah dimulai sejak tahun 2004 silam, sebagai bagian dari rencana jangka panjang pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Hal ini dapat dijumpai dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 1 Tahun 2005 tentang Ujian Nasional (UN) pasal 3:

Pasal 3

“Ujian Nasional bertujuan untuk mengukur dan menilai kompetensi ilmu pengetahuan dan teknologi peserta didik pada mata pelajaran yang ditentukan, dalam rangka pencapaian standar nasional pendidikan.” (Permendiknas 2005)

Pada awal pelaksanaannya mata pelajaran yang diujikan bersifat umum meliputi bahasa Indonesia, matematika dan bahasa Inggris. Namun pada tahun 2009 jumlah mata pelajaran yang diujikan meningkat menjadi enam mata pelajaran yang disesuaikan dengan penjurusan siswa (kelas Bahasa, IPA dan IPS). Begitu pun standar nilai rata-rata ditingkatkan secara bertahap dari tahun ke tahun, mulai dari 4.1 hingga sekarang rata-rata 5.5. Jika pada awalnya UN hanya diperuntukkan pada tingkat menengah atas (SMA) sekarang meliputi juga SMP dan bahkan SD.

Berdasarkan definisi awalnya UN merupakan ujian tertulis yang menjadi salahsatu faktor penentu kelulusan siswa. Sampai di sini tidak ada masalah dan telah menjadi suatu keharusan dalam sistim pendidikan modern. Permasalahan muncul ketika UN diberlakukan secara nasional dan menjadi satu-satunya faktor yang menentukan kelulusan siswa bersangkutan. Dalam argumennya pemerintah menekankan bahwa UN perlu terus dijalankan untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia agar tidak semakin tertinggal dari negara-negara lainnya, dan untuk kepentingan pemetaan pendidikan. Dalam catatan pemerintah juga disebutkan bahwa dari tahun ke tahun telah terjadi peningkatan jumlah kelulusan siswa, dan betapa ternyata UN juga terbukti telah meningkatkan semangat belajar siswa dan kualifikasi guru bersangkutan.

Sementara di sisi lain, kalangan intelektual dan tokoh pendidikan nasional kerap mengkritisi kebijakan standarisasi UN. Kritik lainnya menyangkut efek domino negative dari diberlakukannya standarisasi UN secara nasional, seperti: ditekannya kreativitas guru dan sekolah, terpinggirkannya ilmu akhlaq dan budaya, tersitanya waktu luang siswa untuk kegiatan mandiri sebagai akibat dari fokus siswa dan pihak sekolah terhadap UN semata.

Tentunya ketika kita membahas masalah kemajuan sebuah peradaban maka tidak bisa dilepaskan dari sistim pendidikan yang berlaku pada saat itu. Mulyadhi Kartanegara dan Azyumardi Azra dalam bukunya menekankan berkali-kali bahwa pendidikan adalah faktor kunci kemajuan sebuah peradaban. Secara umum sistim pendidikan yang berlaku pada masa itu dapat dibagi menjadi dua, pendidikan formal dan informal. Pendidikan formal berupa madrasah (termasuk juga jami’ah). Sedang informal meliputi perpustakaan, rumah sakit, observatorium, akademi dan halaqah.

Beberapa Kritik Tentang Ujian Nasional

Standarisasi UN dan meningkatnya nilai minimal kelulusan siswa tidak bisa dipungkiri telah meningkatkan motivasi belajar dan focus para siswa. Namun sayangnya hanya pada mata pelajaran yang diujikan. Hal ini berarti terpinggirkannya mata pelajaran non UN seperti pendidikan akhlaq dan budaya. Begitu pun metode ajar guru terpaku pada kurikulum nasional dengan hanya memberi sedikit ruang gerak bagi kreativitas guru bersangkutan. Fakta ini jelas memprihatinkan mengingat pada masa keemasan islam, kreativitas guru telah menjadi factor yang amat penting.guru bukan sekadar berperan sebagai pengajar di depan kelas, namun terutama sebagai inspirator bagi siswa untuk belajar secara mandiri. Ibn Sina ketika membicarakan masalah pendidikan menitikberatkan pada konsep self-education seperti ini.
UN juga telah menjadikan lembaga non formal menjamur dan semakin diburu para siswa.

Namun sayangnya lembaga yang marak tesebut hanya lembaga yang sekadar mengajarkan tips dan trik UN, atau lembaga pendukung lembaga formal. Hal ini menjadikan waktu luang siswa bersangkutan untuk belajar secara mandiri sesuai dengan minat dasarnya menjadi amat terkurangi. Di masa keemasan islam kita melihat bahwa lembaga pendidikan non formal yang berkembang justru tidak memiliki keterikatan dengan kurikulum lembaga pendidikan formal, dan memiliki peran sama pentingnya dengan lembaga pendidikan formal; sementara lembaga formal focus pada ilmu keagamaan, lembaga non formal justru menjadi sarana pendidikan ilmu filosofis dan praktis. UN pada akhirnya juga amat menekankan pada aspek hapalan siswa, sementara kita melihat pada masa keemasan islam metode hapalan tersebut mesti diiringi dengan debat (argumentasi) baik secara tertulis (ta’liqah) maupun lisan (jadal).

Akan halnya tujuan pendidikan bukanlah untuk sekadar memenuhi standar nilai semata (aspek kognitif), namun terutama dalam pembentukan karakter siswa. Tujuan pendidikan dalam islam secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, tujuan akhir dan antara. Tujuan antara meliputi tujuan individual (kaitan dengan pendidikan pribadi dan karakter siswa), tujuan social (hubungan siswa dengan masyarakat dan lingkungan) dan tujuan professional (kaitan dengan aktivitas dalam masyarakat dan tuntutan profesi). Sementara tujuan akhir nya adalah menciptakan pribadi-pribadi hamba tuhan yang bertaqwa. Sistim pendidikan ala Barat seperti standarisasi UN secara nasional dengan mengabaikan aspirasi dan keunikan budaya local, justru akan menciptakan split personalities dan marginal men yang terasing dan terkucil dari lingkungan dan masyarakat tempatnya bernaung dan mengabdi di kemudian hari.

Pendidikan Agama Islam Masuk Ujian Nasional (UN)

Tahun 2011 Pendidikan Agama Islam akan masuk dalam Ujian Nasional. Hal ini berdasarkan usulan dari Kementerian Agama. Dengan tujuan untuk dapat mengetahui daya serap dan pemerataan pendidikan agama Islam di seluruh wilayah. UN Agama ini hanya berlaku untuk agama Islam saja. Sedangkan agama lain belum dibuatkan aturan tersendiri dan masih menggunakan nilai ujian sekolah. (Republika Co. Id. 14/12)

Lebih lanjut, Baskara Aji selaku kepala Bidang Perencanaan dan Standarisasi Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga (Disdikpora) DIY mengatakan 'UN PAI ini akan diberlakukan bagi siswa tingkat SMP dan SMA/SMK serta pada UASBN (Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional) SD.
Hasil nilai dari UN PAI tidak menjadi nilai mutlak yang akan dimasukkan dalam SKHUN (Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional). Namun demikian, nilai UN PAI akan digabungkan dengan nilai ujian sekolah. Setiap sekolah diminta untuk menentukan nilai minimal UN PAI untuk syarat kelulusan.

Hasil nilai UN PAI ini akan dikeluarkan secara tersendiri terlepas dari nilai pada SKHUN. Namun pola pelaksanaannya tetap sama dengan standar UN. Perlu digaris bawahi bahwa nilai UN PAI tersebut tidak akan menjadi syarat penentu kelulusan atau untuk mendaftar ke tingkat yang lebih tinggi. Meskipun begitu, Kementerian Agama akan mempertimbangkan hasil tersebut menjadi salah satu unsur bagi siswa yang ingin mendaftar di madrasah.

Kriteria Kelulusan UN 2011 Berdasarkan Peraturan Menteri pendidikan nasional Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2010

Pasal 3

Kriteria penyelesaian seluruh program pembelajaran oleh peserta didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a adalah memiliki rapor semester 1 (satu) sampai dengan semester 6 (enam).

Pasal 4

Kriteria penentuan nilai baik untuk 4 (empat) kelompok mata pelajaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b ditetapkan oleh satuan pendidikan masing-masing.

Pasal 5

(1) Peserta didik dinyatakan lulus US/M SMP/MTs, SMPLB, SMA/MA, SMALB, dan
SMK apabila peserta didik telah memenuhi kriteria kelulusan yang ditetapkan oleh satuan pendidikan berdasarkan perolehan Nilai S/M.
(2) Nilai S/M sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari gabungan antara nilai US/M dan nilai rata-rata rapor semester 1, 2, 3, 4, dan semester 5 untuk SMP/MTs dan SMPLB dengan pembobotan 60% (enam puluh persen) untuk nilai US/M dan 40% (empat puluh persen) untuk nilai rata-rata rapor.
(3) Nilai S/M sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di peroleh dari gabungan antara nilai US/M dan nilai rata-rata rapor semester 3, 4, dan semester 5 untuk SMA/MA, SMALB dan SMK dengan pembobotan 60% (enam puluh persen) untuk nilai US/M dan 40% (empat puluh persen) untuk nilai rata-rata rapor.

Pasal 6

(1) Kelulusan peserta didik dalam UN ditentukan berdasarkan NA.
(2) NA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari nilai gabungan antara Nilai S/M dari mata pelajaran yang diujinasionalkan dan Nilai UN, dengan pembobotan 40% (empat puluh persen) untuk Nilai S/M dari mata pelajaran yang diujinasionalkan dan 60% (enam puluh persen) untuk Nilai UN.
(3) Peserta didik dinyatakan lulus UN apabila nilai rata-rata dari semua NA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencapai paling rendah 5,5 (lima koma lima) dan nilai setiap mata pelajaran paling rendah 4,0 (empat koma nol).

Pasal 7

Kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan ditetapkan oleh setiap satuan pendidikan melalui rapat dewan guru berdasarkan kriteria kelulusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.

Pasal 8

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. ((Permen Pendidikan nasional Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2010)

UNDANG-UNDANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

BAB I
UNDANG-UNDANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
UUSPN NO 2 TAHUN 1989-UU SISDIKNAS NOMOR 20 TAHUN 2003)

Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia telah menyusun undang-undang yang berkaitan dengan pendidikan. Seiring dengan kemajuan jaman dan teknologi, pemerintah telah banyak mengadakan perubahan/membuat, merevisi, dan menghapus undang-undang pendidikan. Berbagai konsistensi (konsistensi dapat diartikan dengan ketetapan, kesepatakatan. Lihat Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, 1994: 363) pemerintah ini banyak mengalami berbagai perubahan dari tahun ke tahun.

Setidaknya ada tiga Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang pernah dimiliki Indonesia yaitu Undang-undang Nomor 4 tahun 1950, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang selanjutnya lebih di kenal dengan nama UUSPN, dan Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisten Pendidikan Nasional yang selanjutnya lebih dikenal dengan nama UU SISDIKNAS.

1. Undang-undang Nomor 4 tahun 1950

Satu hari sesudah Indonesia merdeka, Indonesia mengungumunkan UUD Negara Indonesia kesatuan disertai dengna pembentukan pemerintah (kabinet). Dalam suasana ini, pengurus pemusyawaratan mengadakan kongres masalah pendidikan dengan mengumpulkan cendikiawan sebanyak mungkin. Kongres ini berlangsung dari tanggl 4-5-6 April 1947 di Surakarta. Kongres ini menghasilkan rencana pokok pendidikan dan pengajaran yang kelak menjadi pedoman bagi pemerintah dalam menyelenggarakan sekolah-sekolah. Rencana undang-undang ini selesai pada tahun 1948. Pada tanggal 6 Agustus 1949 rencana undang-undang ini kepada DKNIP. Rencana undang-undang ini diterima dan disyahkan oleh DKNIP pada tanggal 27 Desember 1949. (B. Suryobroto, 1990:35-36)

Selanjutnya pada tahun 1954 dikeluarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 1954 tentang pernyataan berlakunya Undang-Undang No. 4 Tahun 1950 dari Republik Indonesia dahulu tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah untuk seluruh Indonesia. Undang-undang ini lahir sebagai akibat dari perubahan sistem pemerintahan Indonesia pada saat itu, dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berganti menjadi Negara Republik Indonesia Serikat, dan kembali lagi menjadi negara kesatuan.

Sistem pendidikan nasional pada masa ini masih belum mencerminkan adanya kesatuan. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 jo Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 hanya mengatur pendidikan dan pengajaran di sekolah, sementara penyelenggaraan pendidikan tinggi belum diatur. Undang-undang yang mengatur penyelenggaraan Pendidikan Tinggi baru lahir pada tahun 1961 dengan disahkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1961 tentang penyelenggaraan perguruan tinggi.

Berlakunya dua undang-undang dalam sistem pendidikan, yaitu Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 jo Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 dan Undang-undang No. 22 Tahun 1961 sering dipandang sebagai kendala yang cukup mendasar bagi pembangunan pendidikan yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Undang-undang tersebut, di samping tidak mencerminkan landasan kesatuan sistem pendidikan nasional, karena didasarkan pada Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat, juga tidak sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945.

Posisi Pendidikan Islam

Undang-Undang Nomor 54 tahun 1950 sebagai undang-undang pertama yang mengatur pendidikan nasional tidak memberikan tempat bagi pendidikan keagamaan. Pun terhadap pendidikan agama yang saat itu diistilahkan dengan pengajaran agama undang-undang ini cenderung bersikap liberal dengan menyerahkan keikutsertaan siswa dalam pengajaran kepada keinginan dan persetujuan orang tua.

Dalam pasal 20 UU No 4/1950 dinyatakan:

1) Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama; orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut;
2) Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama.

Namun demikian, undang-undang ini mengamanatkan tersusunnya undang-undang tersendiri yang mengatur pendidikan agama ini. (lihat UU No. 4 Tahun 1950 Pasal 2 ayat 1 dan 2, dan Pasal 20). Secara sederhana sikap pemerintah saat itu dapat disimpulkan sebagai tidak memihak dan tidak menunjukkan concern yang tinggi terhadap pendidikan agama.

2. UUSPN No. 2 Tahun 1989

Hadirnya UU No 4 Tahun 1950 ini belum mencerminkan harapan rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Tentu saja undang-undang ini menuai protes dari berbagai kalangan umat Islam. Pada akhirnya lahirlah undang-undang UUSPN No 2 Tahun 2003. Inti perubahan undang-undang ini adalah karena undang pendidikan keagamaan (PAI) dikesampingkan. Tidak dipungkiri bahwa undang-undang tahun 1950 masih diwarnai dengan undang-undang kolonialisme.

Oleh sebab itulah diperlukan suatu platform berupa sistem pendidikan nasional yang dapat menciptakan sumber daya manusia yang mampu bersaing dengan dunia internasional khususnya dalam era keterbukaan pasar saat ini.

Posisi Pendidikan Islam

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 54 tahun 1950 yang mana undang-undang tersebut tidak memihak kepada pendidikan Islam, maka isu pendidikan agama ramai dibicarakan dan diperdebatkan. Akumulasi perdebatan ini memberikan pengaruh terhadap Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 sebagai Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional “jilid dua” yang disahkan pada tanggal 27 Maret 1989. Dalam undang-undang yang muncul 39 tahun kemudian dari undang-undang pertama ini, pendidikan keagamaan dan pendidikan agama mulai mendapat tempat yang cukup signifikan di bandingkan dengan sebelumnya. Pendidikan keagamaan diakui sebagai salah satu jalur pendidikan sekolah. (Lihat UU No. 2 Tahun 1989 Pasal 11 ayat 1 dan 6, dan Pasal 15 ayat) Pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib dalam setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan. (Lihat UU No. 2 Tahun 1989 Pasal 39 ayat)
Lebih dari itu, undang-undang ini menjadikan keimanan dan ketakwaan sebagai tujuan pendidikan nasional. (Lihat UU No. 2 Tahun 1989 Pasal 4) Keimanan dan ketakwaan adalah terminologi yang sangat identik dan akrab dengan pendidikan agama dan keagamaan.

3. UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003

Depdiknas telah merevisi UU No. 2/1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (selanjutnya ditulis UUSPN) dengan alasan bahwa UUSPN No.2 tahun 1989 sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman. (Imam Samroni, Makalah Diskusi Panel: 1)

Undang-undang sisdiknas terbaru ini memberikan penekanan bahwa penyelenggaraan pendidikan harus dilaksanakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multi makna. Selain itu, pendidikan diselenggarakan: sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat; dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran; dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat; dan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

Undang-Undang No.20/2003 Bab VI pasal 13 menetapkan bahwa pendidikan nasional dilaksanakan melalui jalur formal, non formal, dan informal yang penyelenggaraannya dapat saling melengkapidan saling memperkaya. Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.

Sementara saat akan diundangkannya RUU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 terjadi juga kontroversi dimana RUU ini dianggap oleh kelompok tertentu sebagai RUU yang sangat tidak pluralis. Yang dianggap paling kontroversial adalah Pasal 13 ayat 1a yang berbunyi: “Setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”.

Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa visi dan misi pendidikan nasional sangat terfokus pada nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia. Konsep itu mengesampingkan tugas mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan pendidikan nasional dipersempit secara substansial. Padahal tugas untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan adalah tugas lembaga keagamaan dan masyarakat, bukan lembaga pendidikan.
Mereka yang menentang umumnya datang dari kalangan lembaga-lembaga pendidikan swasta non-Islam, sedangkan yang mendukung adalah dari kelompok penyelenggara pendidikan Islam.

Hal yang ditentang adalah yang menyangkut keharusan sekolah-sekolah swasta menyediakan guru agama yang seagama dengan peserta didik. Pasal ini menimbulkan konsekuensi biaya terhadap lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan baik Kristen maupun Islam. Karena mereka harus merekrut guru-guru agama sesuai dengan keragaman agama anak didiknya.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tetap mempertahankan dasar pendidikan nasional adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Hal tersebut termaktub dalam Bab II pasal 2 yang bunyi lengkapnya adalah “Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Sedangkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional tercantum dalam Bab II pasal 3 yang berbunyi “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Posisi Pendidikan Islam

Memasuki era reformasi, sembilan tahun setelah Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 diundangkan, pendidikan nasional mendapat banyak kritik, bahkan hujatan. Bahkan UUD 1945 pun yang memayungi lahirnya setiap Undang-Undang pendidikan, tak mampu menahan dari desakan amandemen sehingga pada tanggal 18 Agustus 2000 MPR memutuskan berlakunya UUD hasil empat kali amandemen tersebut. UUD hasil amandemen ini mengamanatkan agar pemerintah menyusun sebuah sistem pendidikan nasional.

Selengkapnya amanat UUD itu berbunyi, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”. (UUD 1945 Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 13)

Demi memenuhi amanat tersebut, desakan masyarakat serta tuntutan reformasi pendidikan, maka pada tanggal 8 Juli 2003 diundangkanlah Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di sini lah pendidikan agama dan keagamaan mendapatkan angin segar dan ruang gerak yang leluasa yang setidaknya ditegaskan dan diisyaratkan dalam 12 point dari Undang-Undang tersebut, yaitu pada:

1. Konsideran “menimbang”,
2. Bab I tentang Ketentuan Umum,
3. Pasal 3 tentang fungsi pendidikan nasional,
4. Pasal 12 ayat 1 a tentang hak peserta didik,
5. Pasal 17 ayat 2 tentang bentuk Pendidikan Dasar,
6. Pasal 18 ayat 3 tentang bentuk Pendidikan Menengah,
7. Pasal 26 ayat 4 tentang bentuk satuan pendidikan nonformal,
8. Pasal 30 tentang Pendidikan Keagamaan,
9. Pasal 36 ayat 3 tentang aspek kurikulum,
10. Pasal 37 ayat 1 tentang kurikulum pendidikan dasar,
11. Pasal 37 ayat 2 tentang kurikulum pendidikan tinggi, dan
12. Pasal 38 ayat 2 tentang koordinasi dan supervisi Departemen Agama.

Saat kedua undang-undang tersebut baik UUSPN No 2 tahun 1989 maupun UU SISDIKNAS Nomor 20 tahun 2003 masih berupa Rencana undang-undang terjadi berbagai kontroversi, misalnya saat UUSPN nomor 2 tahun 1989 akan diundangkan banyak sekali protes dari kalangan muslim yang menghendaki adanya perubahan-perubahan pada pasal tertentu yang dipandang tidak mencerminkan pendidikan yang mengarah pada pembentukan akhlaq dan budi pekerti bahkan tokoh-tokoh Islam Bogor seperti K.H. Sholeh Iskandar dan KH. TB Hasan Basri menyebut RUU tersebut sebagai RUU yang tidak bermoral.

Mengapa demikian karena pada UU tersebut tidak terdapat pasal khusus yang mengatur pendidikan agama. Pengaturan itu ada pada penjelasan Pasal 28 Ayat 2 yang menyatakan, “Tenaga pengajar pendidikan agama harus beragama sesuai dengan agama yang diajarkan dan agama peserta didik yang bersangkutan”.

Dalam UU sebelumnya yaitu Dalam pasal 20 UU No 4/1950 dinyatakan:

1) Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama; orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut;
2) Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama.

Di sisi lain RUU SPN No. 2 tahun 1989 justru memberikan warna baru untuk lembaga pendidikan Islam di mana dengan diberlakukannya UUSPN No 2 tahun 1989 madrasah-madrash mendapat perlakuan yang sama dengan sekolah umum lainnya karena dalam UUSPN tersebut madrasah dianggap sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam dan kurikulum madrasah sama persis dengan sekolah umum plus pelajaran agama Islam sebanyak tujuh mata pelajaran.

Secara operasional, integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional ini dikuatkan dengan PP No. 28 tahun 1990 dan SK MenDepartemen Pendidikan Nasional No. 0487/U/ 1992 dan No. 054/U/ 1993 yang antara lain menetapkan bahwa MI/MTs wajib memberikan bahan kajian sekurang kurangnya sama dengan “SD/SMP”. Surat-surat Keputusan ini ditindak lanjuti dengan SK Menteri Agama No. 368 dan 369 tahun 1993 tentang penyelenggaraan MI dan MTs.

Sementara tentang Madrasah Aliyah (MA) diperkuat dengan PP Nomor 29 tahun 1990, SK MenDepartemen Pendidikan Nasional Nomor 0489/U/ 1992 (MA sebagai SMA berciri khas agama Islam) dan SK Menag Nomor 370 tahun 1993. Pengakuan ini mengakibatkan tidak ada perbedaan lagi antara MI/MTs/MA dan SD/SMP/SMA selain ciri khas agama Islam.

Jika kita lihat perjalanan diberlakukannya kedua undang-undang tersebut tidaklah ada yang berjalan mulus kedua-duanya mengandung kontoversi dan pada akhirnya dibalik semua kontroversi yang ada pada tanggal 8 Juli 2003 Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan Nasional disyahkan oleh Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri.

Banyak sekali keuntungan yang dirasakan oleh ummat Islam dengan diberlakukannya UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 ini, di antaranya :

1. Tujuan Pendidikan Nasional sangat memberikan peluang untuk merealisasikan nilai-nilai Alquran yang menjadi tujuan pendidikan Islam yaitu terbentuknya manusia yang beriman dan bertaqwa (pasal 3).
2. Anak-anak Muslim yang sekolah di lembaga pendidikan Non Islam akan terhindar dari pemurtadan, karena anak-anak tersebut akan mempelajari mata pelajaran agama sesuai dengan yang dianut oleh siswa tersebut dan diajarkan oleh guru yang seagama dengan dia (Pasal 12 ayat 1a)
3. Madrasah-madrasah dari semua jenjang terintegrasi dalam system pendidikan nasional secara penuh (Pasal 17 dan 18)
4. Pendidikan keagaamaan seperti Madrasah diniyah dan pesantren mendapat perhatian khusus pemerintah, karena pendidikan keagamaan tidak hanya diselenggarakan oleh kelompok masyarakat tetapi juga diselenggarakan oleh pemerintah (Pasal 30).
5. Pendidikan Agama diajarkan mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi (Pasal 37).

Faktor-Faktor yang mempengaruhi perubahan UUSPN No 2/89 menjadi UUSISDIKNAS No 20/2001.

Faktor-faktor yang mempengaruhi dirubahnya UUSPN No 2/89 menjadi UU SISDIKNAS No 20 Tahun 2003 di antaranya adalah :

1. UUSPN No. 2 Tahun 1989 masih bersifat sentralistik
2. UUSPN No. 2 Tahun 1989 masih belum bermutu, kemudian sesuai tuntutan dalam UUSISDIKNAS No. 20 tahun 2003 dibuatlah Standar Nasional Pendidikan
3. UUSPN No. 2 Tahun 1989 belum mengarah pada pendidikan untuk semua
4. Belum Mengarah pada pendidikan seumur hidup
5. Pendidikan belum link and match dengan dunia usaha dan dunia kerja.
6. Belum menghasilkan lulusan yang berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur.

DAFTAR PUSTAKA

A. Partanto, Pius dan M. Dahlan Al Barry. 1994. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola
Dimyati dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta
Hasan, Chalidjah. Kajian Perbandingan Pendidikan. Surabaya: Al Ikhlas.
Imron, Ali. 1996. Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2010 Tentang kriteria kelulusan peserta didik Pada sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah, sekolah Menengah pertama luar biasa, sekolah menengah atas/madrasah Aliyah, sekolah menengah atas luar biasa, dan sekolah menengah kejuruan tahun pelajaran 2010/2011
Pidarta, Made. 1997. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Rosyada, Dede. 2004. Paradigma Pendidikan Demokratis. Jakarta: Prenada Media Sumarso, Makalah, Perjalanan Kurikulum Di Indonesia
Siskandar. 2003. KBK Pendidikan Dasar dan menengah (makalah). Jakarta: Pusat Kurikulum, Depdiknas.
Shaleh, Abdurrahman. 2003. Kebijakan Kurikulum Madrasah (makalah). Jakarta: Depdiknas, Depag RI
Soetopo, Hendyat dan Wasty Soemanto. 1993. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Cet. Keenam
Sulistyorini, Sulis. 2007. Model Pembelajaran IPA Sekolah Dasar dan Penerapannya dalam KTSP. Yogyakarta: Tiara Wacana
Suryosubroto. 1982. Beberapa Aspek Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya Kembali Undang-Undang No. 4 Tahun 1950
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN 1989)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS 2003).

MENGENAL AHMADIYAH LEBIH DEKAT

Agus Salim (Mahasiswa FAI-UMSU dan Alumni Kader Ulama MUI-SU)

Berbicara tentang Ahmadiyah, berarti membicarakan sejarah Mirza Ghulam Ahmad selaku pendiri aliran yang mengundang kontroversi di tanah air ini. Mirza Ghulam Ahmad lahir dari keturunan terhormat di daerah Qadiyan pada tahun 1839, wafat pada tahun 1908. Menurut suatu keterangan, keluarga Mirza Ghulam Ahmad berasal dari keturunan Haji Barlas dari dinasti Mughal. Inilah alasannya di depan nama keturunan keluarga ini terdapat sebutan Mirza.

Semasa kecilnya Mirza Ghulam Ahmad mendapat pendidikan agama secara tradisional dari keluarganya. Sedangkan pendidikan dasar ia peroleh di kampungnya sendiri. Kemudian meneruskan pelajarannya di kota Batala dekat kota Qadiyan. Sewaktu mudanya ia diasuh ayahnya dalam mengurus tanah pertaniannya, kemudian ia menjadi pegawai pada pemerintah Inggris di Sialkot sejak 1864-1868.

Pada awal kegiatannya, Mirza Ghulam Ahmad diterima oleh masyarakat luas termasuk dari kalangan masyarakat Islam ortodoks. Akan tetapi, sesudah Mirza Ghulam Ahmad mengeluarkan suatu pernyataan dan dakwaan yang dianggap keluar dari ajaran Islam, masyarakat berbalik memusuhi dan menghinanya.

Pada usia 54 tahun Mirza Ghulam Ahmad mengaku sering mendapat petunjuk atau wahyu dari Allah swt. Dia mengatakan bahwa wahyu itu tidak terbatas di masa lampau saja, tetapi Tuhan tetap berfirman kepada siapa saja yang dipilih-Nya sampai hari ini. Selain itu, di saat yang sama, ia pun menyatakan bahwa dirinya adalah Mujaddid atau renovator abad ke-14, karena ia merasa telah ditunjuk oleh Tuhan untuk mempertahankan Islam. Dari pengakuan inilah golongan Ahmadi ketika itu beranggapan bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai Mujaddid.

Pengakuan Mirza Ghulam Ahmad sebagai al-Mahdi sekaligus sebagai penjelmaan Isa al-Masih menerima wahyu secara berulang-ulang dan berkesinambungan merupakan pengalaman rohaniah yang menenangkan hatinya. Akan tetapi, justru pengakuan tersebut menggelisahkan umat Islam. Dari pernyataannya yang aneh tersebut, Mirza Ghulam Ahmad menghadapi gelombang permusuhan yang dahsyat dari intern umat Islam.

Mirza Ghulam Ahmad menyatakan dirinya sebagai reformer abad ke-14 sekaligus sebagai al-Masih (penyelamat) yang dijanjikan dengan alasan realisasi dari hadis Nabi Muhammad saw. yang artinya, “Sesungguhnya Allah akan mengatur umat ini (Islam) pada ujung setiap 100 tahun (1 abad) seorang pembaru agamanya.” (HR. Abu Daud).

Selanjutanya dia mengatakan telah menerima wahyu dari Tuhan. Dalam wahyu itu diterangkan bahwa al Masih dan al Mahdi yang dijanjikan itu adalah dirinya. Dalam pengakuan itu ia mengatakan, "Dan Tuhan telah memberitahukan kepadaku (dengan firman-Nya); "Bahwa al-Masih dan al-Mahdi yang dijanjikan dan ditunggu-tunggu itu adalah engkau (Mirza) dan Kami (Allah) melakukan apa yang Kami kehendaki, dan janganlah engkau tergolong orang-orang yang membuat kedustaan". Allah berfirman lagi, "Sungguh Kami (Allah) menjadikan engkau sebagai al-Masih ibn Maryam." Maka Allah pun melimpahkan keindahan rahasia-Nya dan menjadikan aku dapat melihat masalah-masalah yang sekecil-kecilnya."

Dalam merealisasikan ide pembaharuannya, Mirza di awal Desember 1888, dengan cara terang-terangan menyatakan dirinya telah mendapat perintah dari Tuhan untuk menerima baiat dari jamaatnya. Isi baiatnya antara lain, menjauhi perbuatan syirik, melaksanakan salat lima kali sehari semalam, beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi Muhammad saw., taat dan patuh kepada ajaran Alquran, dan bersikap sopan santun.
Isi baiat di atas tidak bertentangan dengan Alquran. Tetapi dalam baiat ini tidak disebut kewajiban zakat dan haji. Dalam riwayat hidupnya Mirza Ghulam Ahmad tidak pernah melaksanakan haji dengan alasan belum istitha’ah (mampu).

Ikrar baiat lainnya yang harus diucapkan oleh seorang anggota adalah persaudaraan dengan Mirza Ghulam Ahmad. Dengan konsekuensi, jika anggota meninggal maka segala harta kekayaan dikelola Mirza Ghulam Ahmad. Ikrar ini merupakan ajaran tertinggi di kalangan Ahamadiyah.

Dengan cara ini, ia ingin menghimpun suatu kekuatan yang dapat menopang misi dan cita-cita kemahdiannya guna menyerukan Islam ke seantero dunia. Menurut keyakinannya, mempertahankan dan mempropagandakan Islam tidak akan berhasil tanpa suatu organisasi yang kuat. Untuk mewujudkan tujuan ini, ia memerlukan baiat atau janji setia dari para pengikutnya. Sesudah diadakan pembaiatan, ia mengorganisasikan mereka menjadi suatu aliran baru dalam Islam dengan nama Jamaah Ahmadiyah.
Mirza Ghulam Ahmad mengumumkan penggunaan nama "Ahmadiyah" secara resmi pada tanggal 4 November 1900. Sejak itulah nama aliran ini dimasukkan dalam catatan resmi pemerintah kolonial Inggris. Menurut penjelasan Maulana Muhammad Ali nama Ahmadiyah bukan diambil dari nama Mirza Ghulam Ahmad. Akan tetapi diambil dari salah satu nama-nama Rasulullah saw. yang ada dalam surah ash-Shaf: 6 yang isinya memuat informasi Nabi Isa kepada Bani Israil yang menerangkan bahwa sesudah Nabi Isa nanti akan datang seorang nabi yang bernama Ahmad. Menurut keterangan yang lain bahwa nama Ahmadiyah dinisbahkan kepada nama belakang pendirinya Mirza Ghulam Ahmad.
Setelah Mirza Ghulam Ahmad sudah tiada, kepemimpinan Ahmadiyah digantikan oleh Maulawi Nuruddin yang dikenal khalifah pertama Ahmadiyah. Kekhalifahannya berakhir sampai ia meninggal. Selama kekhalifahan Maulawi Nuruddin, Ahmadiyah sebagai gerakan Mahdi telah memperoleh kemajuan pesat dan mulai dikenal di kalangan umat Islam secara luas. Sesudah itu, kekhalifahan kedua dipegang oleh Maulawi Basyiruddin Mahmud Ahmad (putra Mirza Ghulam Ahmad).

Saat ini Ahmadiyah telah memiliki 5 khalifah di antaranya adalah:
1. Khalifah I Hadhrat Hakim Maulana Nuruddin (27 Mei 1908 - 13 Maret 1914)
2. Khalifah II Hadhrat Alhaj Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad (14 Maret 1914 - 7 November 1965)
3. Khalifah III Hadhrat Hafiz Mirza Nasir Ahmad (8 November 1965 - 9 Juni 1982)
4. Khalifah III Hadhrat Mirza Tahir Ahmad (10 Juni 1982 - 19 April 2003)
5. Khalifah IV Hadhrat Mirza Masrur Ahmad (22 April 2003 – sekarang) (sumber http://id.wikipedia.org/)

Pada masa kekhalifahan kedua ini timbul pertikaian dalam tubuh Ahmadiyah sendiri. Pada masa ini muncul pernyataan yang tegas dari Basyiruddin Mahmud Ahmad, ia menempatkan Mirza Ghulam Ahmad sebagai seorang nabi. Pernyataan ini tentunya ditolak oleh sebagian anggota jamaah Ahmadiyah. Tepatnya pada tahun 1914 Ahmadiyah terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama bernama Qadiyani. Kelompok ini dalam ajarannya mencela muslim lain sebagai kafir, kota Qadiyani sebagai kota ketiga setelah Mekah dan Madinah, Nabi Isa tidak mati disalib dan tidak pula diangkat ke langit, tetapi Nabi Isa hanya pingsan di tiang salib. Setelah itu Nabi Isa diselamatkan oleh pengikutnya, kemudian Nabi Isa pindah ke Kashmir. Di Kahsmir inilah Nabi Isa beristri dan berketurunan. Salah satu keturunannya bernama Mirza Ghulam Ahmad, dan sekte ini berkeyakinan bahwa kenabian tetap terbuka sesudah Rasulullah saw. Sekte ini dipimpin oleh Basyiruddin Mahmud Ahmad. Kelompok ini berpandangan bahwa Mirza Ghulam Ahmad tidak hanya sebagai mujaddid (pembaru) saja, tetapi juga sebagai nabi yang harus ditaati dan dipatuhi seluruh ajarannya. Oleh karena itu, terpilihnya Basyiruddin Mahmud sebagai Khalifah al-Mahdi yang kedua, tidak mendapat dukungan penuh dari seluruh pengikut Ahmadiyah.

Kelompok kedua dikenal sebagai Ahmadiyah Lahore, yang disebut pula dengan Ahmadiyah Anjuman Isha'at Islam. Kelompok ini berpandangan bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanya sebagai mujaddid (pembaru) saja, bukan seorang nabi. Untuk pertama kalinya golongan ini dipimpin oleh Maulawi Muhammad Ali. Di Indonesia golongan ini dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI). Sedangkan kelompok kedua disebut dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).

M.B. Shamsir Ali, SH, SHD dalam situs resmi Ahmadiyah mengatakan bahwa Ahmadiyah adalah sebuah Jamaah Islam yang didirikan oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad pada tahun 1889 Masehi/1306 Hijriah, di Qadiyan India. Shamsir Ali mengutip pernyataan pendiri Ahmadiyah Mirza Ghulam Ahmad dalam kitab Taqrir Wajibul I’lan, bahwa pendiri mereka sungguh-sungguh percaya bahwa Nabi Muhammad saw. adalah khatamu al anbiya. Seorang yang tidak percaya pada khatamu al anbiya beliau (Rasulullah saw.), adalah orang yang tidak beriman dan berada di luar lingkungan Islam.

Namun dalam buku Benarkah Ahmadiyah Sesat dijelaskan bahwa Mirza Ghulam Ahmad mengakui bahwa ia pernah mengucapkan bahwa ia adalah seorang nabi. Menurut Ahmadiyah Lahore, ungkapan tersebut dalam arti kiasan seperti terjadi dalam arti pustaka Sufi. Sebagai terminologi yang sudah umum dapat diterima sebagai penerima komunikasi dengan Tuhan atau hanya arti lughawi saja yang artinya hanya untuk orang yang Allah berfirman kepadanya, dalam terminologi Islam hal tersebut tersebut muhaddas. Mungkin, hal inilah yang menjadi perseteruan Ahmadiyah sehingga terpecah menjadi dua kemlompok.

Walaupun aliran Ahmadiyah terpecah dua, kedua kelompok ini sangat aktif dan intensif dalam usaha mewujudkan cita-cita kemahdiannya. Pengikut masing-masing kelompok ini mendirikan mesjid-mesjid sebagai pusat kegiatan, menterjemahkan Alquran berikut dengan komentar-komentarnya ke dalam bahasa asing.

Pada tahun 1924 Ahmadiyah masuk ke dalam negara Indonesia yang dibawa oleh dua orang mubaligh Ahmadiyah yang bernama Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad. Ahmadiyah yang dimaksud adalah Ahmadiyah Lahore. Mereka memulai kegiatannya di Yogyakarta.
Padat tahun 1925 Ahmadiyah sekte Qadiyan menyusul datang ke Indonesia dibawa oleh seorang mubalighnya bernama Rahmad Ali. Mereka mendakwahkan ide kemahdian Mirza, di Tapaktuan (Aceh), dua tahun kemudian ia pindah ke Padang sampai tahun 1930, dan akhirnya bermukim di Jakarta. Kedua sekte tersebut berlomba untuk menanamkan pengaruhnya di Indonesia.

Perlu diketahui bahwa Ahmadiyah sangat dekat Inggris. Di samping itu, pendiri Ahmadiyah juga melestarikan tradisi keluarganya yang telah lama menjalin hubungan mereka dengan pemerintah Inggris, sebagaimana pernyataan Mirza Ghulam Ahmad sendiri, "Sungguh sejak masa mudaku sampai hari ini, aku dalam usia 60 tahun, aku menjadi orang yang gigih berjuang dengan lisan dan penaku supaya aku dapat memalingkan keikhlasan hati kaum Muslimin kepada pemerintah Inggris karena kebaikannya, dan bersikap lunak kepadanya. Dan aku mengajak mereka, agar mereka menghilangkan pikiran untuk berjihad (terhadap Inggris), di mana pikiran seperti itu masih diikuti oleh sebagian mereka yang bodoh-bodoh, dan pikiran semacam itulah yang mencegah mereka tidak mau patuh kepada pemerintah Inggris."

Demikian pula halnya dengan pernyataan Basyiruddin Mahmud putera Mirza Ghulam Ahmad sewaktu Putera Mahkota Kerajaan Inggris berkunjung ke India, menyatakan, "Kami atas nama seluruh warga Ahmadiyah mengucapkan selamat datang atas kunjungan Tuan ke India, dan kami tegaskan kepada Tuan bahwa warga Ahmadiyah adalah setia kepada pemerintah Inggris. Dan insya Allah kesetiaan warga Ahmadiyah ini akan tetap untuk selama-lamanya."

Sebenarnya aliran Ahmadiyah jauh-jauh hari sudah difatwakan sesatnya. Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam Muktamar II di Jeddah, Arab Saudi pada 22-28 Desember 1985 M tentang Ahmadiyah menyatakan antara lain menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad dan menerima wahyu adalah murtad dan keluar dari Islam karena mengingkari ajaran Islam yang qath’i. sedangkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam musyawarah nasional dalam munas nasional telah menfartwakan Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam).
Keluarnya fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendapat respon dari Ahmadiyah Lahore dengan adanya maklumat nomor 01/PB-MA/GAI/005. Dalam maklumat itu mereka menjelaskan bahwa paham mereka berseberangan dengan paham Ahmadiyah Qadiyani. Mereka menegaskan bahwa Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) berasaskan Alquran yang merupakan kitab suci satu-satunya umat Islam, mengakui Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir.

Pemerintah selaku ulil amri turut serta mengambil kebijakan tentang Ahmadiyah dengan keluarnya surat Keputusan Bersama Menteri (SKB 3 Menteri) Nomor 3 Tahun 2008. Dalam keputusannya dalam dijelaskan bahwa memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dri pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.

Pendekatan Sistem dalam Pendidikan

By : Onen Saranjana

Bangsa Indonesia sesungguhnya adalah bangsa yang terdidik. Hal tersebut terbukti dengan tumbuh suburnya pendidikan yang bersifat tradisional dan tersebar di seluruh nusantara,. Pengajaran Islam di langgar-langgar semakin mengukuhkan keberadaan pendidikan tradisional tersebut. Namun demikian, pendidikan tradisional mengalami pergeseran ke pendidikan kolonial, khususnya ketika pemerintah kolonial Belanda membutuhkan pegawai-pegawai administrasi rendahan untuk mengisi pos-pos pemerintahannya. Oleh karena itu, sistem yang diterapkannya tidak lepas dari tujuan politiknya dalam usaha mempertahakankan kekuasaan. Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika pendidikan tersebut menjadi alat untuk memantapkan hegemoninya, dan melahirkan elit-elit baru yang nasionalis serta menjadi bumerang bagi kekuasaannya.

Pengertian Sistem

Dari segi Etimologi, kata sistem sebenarnya berasal dari Bahasa Yunani yaitu “Systema”, yang dalam Bahasa Inggris dikenal dengan “SYSTEM”, yang mempunyai satu pengertian yaitu sehimpunan bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan satu keseluruhan yang tidak terpisahkan. Selanjutnya .......

Hidup dan segala sesuatu di sekitar kita merupakan gabungan dari sistem (dalam bahasa inggeris system) dan sub-sistem. Seorang manusia adalah suatu sistem. Kehidupan manusia di dalam suatu keluarga adalah satu sistem. Rumah, kereta, tren, sekolah, organisasi, desa, kampus, perkumpulan pemain bola, kedai, pejabat, kerajaan, negara, dunia, universe dan lain-lain adalah sistem-sistem. Sistem-sistem lain adalah pernikahan, khidmad masyarakat, bumi, langit dan sebagainya.

Apa sesungguhnya sistem itu? Dalam cakupan pengertian sistem termuat adanya berbagai komponen (unsur), berbagai aktiviti (menunjuk fungsi dari setiap komponen), adanya saling hubungan serta ketergantungan antar komponen, adanya perpaduan (kesatuan organis = integrasi) antar komponen, adanya keluasan sistem (ada kawasan di dalam sistem dan di luar sistem), dan gerak dinamis semua fungsi dari semua kompo­nen tersebut mengarah (berorientasi = berkiblat) kepada pencapaian tuju­an/matlamat sistem yang telah ditetapkan lebih dahulu. Bertolak dari identifikasi sistem tersebut, berikut ini disajikan beberapa definisi:Selanjutnya .......

2.22.2011

Kontroversi Ibnu Arabi

IBNU ARABI DIHUKUMI KAFIR

Ajaran Ibnu Arabi yang sangat menyimpang dari Islam itu banyak mempengaruhi ummat Islam. satu segi karena syair-syair bahkan kata-kata yang dituduhkan sebagai Hadits (padahal palsu) dibuat dengan ungkapan yang mudah dihafal dan enak didengar. Segi yang lain, karena ummat Islam merasa perlu menghormati Nabi SAW sedemikian rupa, sedangkan syair-syair dan adat yang disebarkan justru banyak yang berbau ajaran tasawwuf model Ibnu Arabi.

Jauhnya kesesatan aqidah akibat tersebarnya faham Ibnu Arabi itu bukan hanya melanda ummat Islam awam, namun sampai ke orang yang disebut cendekiawan Muslim. Hingga seorang DR Nurcholish Madjid ketua Yayasan Wakaf Paramadina di Jakarta pernah mengemu-kakan pendapat, mengutip Ibnu Arabi, hingga mendapat tanggapan keras dari ummat Islam.

Dr. Nurcholish Majid menjawab pertanyaan pada Pengajian "Paramadina" di Kebayoran Baru tanggal 23 Januari 1987. Perta¬nyaan Lukman berbunyi: "Salahkah Iblis, karena dia tidak mau sujud kepada Adam, ketika Allah menyuruhnya. Bukankah sujud hanya boleh kepada Allah?"
Dr Nurchalish Madjid, yang memimpin pengajian itu, menjawab --secara sambil lalu-- dengan satu kutipan dari pendapat Ibnu Arabi, dari salah satu majalah yang terbit di Damascus, Syria bahwa:

"Iblis kelak akan masuk syurga, bahkan di tempat yang terting¬gi karena dia tidak mau sujud kecuali kepada Allah saja, dan inilah tauhid yang murni."

DR Nurchalish Madjid tidak memberi komentar apa-apa, setuju atau tidaknya dia sendiri, dengan ucapan Ibnu Arabi itu, tidak pula diterangkannya, siapa Ibnu Arabi itu. (Yayasan Islam Al-Qalam Ma'had Ad-Diraasaatil Islamiyyah Jakarta, Jawaban Tuntas untuk Dr Nurchalish Madjid tentang Ibnu Arabi dan Syetan Masuk Syurga, 1407H, hal 1).

Selanjutnya, Ma'had itu menjelaskan duduk soal kesesatan Ibnu Arabi, dan sejumlah ulama yang telah mengkafirkan, atau memurtad¬kannya, akibat tulisan-tulisan Ibnu Arabi yang sangat bertentan¬gan dengan aqidah Islam.

Ibnu Arabi dan pokok-pokok ajaran sesatnya

Ibnu Arabi, nama lengkapnya Abu Bakar Muhammad ibn Ali Muhyid¬din Al-Hatimi at-Thai al-Andalusi, dikenal dengan Ibnu Arabi (bukan Ibnul Arabi yang ahli tafsir). Ibnu Arabi ini dianggap sebagai tokoh tasawwuf falsafi, lahir di Murcia Spanyol, 17 Ramadhan 560 H/ 28 Juli 1165M, dan mati di Damaskus, Rabi'uts Tsani 638H/ Oktober 1240M.

Inti ajarannya didasarkan atas teori wihdatul wujud (manunggaling kawula Gusti/menyatunya makhluk dengan Tuhan) yang menghasilkan wihdatul adyan (kesatuan agama, tauhid maupun syirik) sebagai hasil dari gabungan teori-teori al-ittihad (manunggal, melebur jadi satu antara si orang sufi dan Tuhan) dengan mengadakan al-ittishal atau emanasi. Atau sebagai hasil dari gabungan pemikiran tentang teori Nur Muhammadi (yang pertama kali diciptakan adalah Nur Muhammad, kemudian dari Nur Muhammad itu diciptakan makhluk-makhluk lain) dari Al-Khaliq dengan pemikiran Al-Aqlu al-awwal (akal pertama) --seperti telah diterangkan pada bab Nur Muhammad atau Hakekat Muhammad tersebut di atas--. Ibnu Arabi banyak dipengaruhi oleh filsafat Masehi atau Nasrani.

Berikut ini ringkasan pandangan Ibnu Arabi yang nyata-nyata bertentangan dengan Islam, diringkas oleh Yayasan Islam Al-Qalam, satu induk dengan LPPI (Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Islam) yang banyak menyoroti aliran-aliran sesat.
Pandangan Ibnu Arabi berkisar pada:

- Berusaha menghancurkan/ membatalkan agama dari dasarnya.
- Semua orang berada pada As-Shirath Al-Mustaqim (jalan lurus).
- Wa'ied (janji) dari Allah tidak ada sama sekali.
- Khatim al-Awliya' (penutup para wali) lebih tinggi daripada Khatim Al-Anbiya' (penutup para nabi), karena wilayah (kewalian) lebih tinggi daripada Nubuwwah (kenabian).

Ibnu Arabi banyak mengarang buku untuk menyiarkan ajaran-ajaran dan pendapatnya. Bukunya yang paling terkenal adalah al-Futuhat al-Makkiyyah dan Fushul Al-Hukm.
Sorotan tajam terhadap pendapat Ibnu Arabi telah dilakukan oleh para ulama dan dituangkan dalam tulisan yang cukup mudah dideteksi tentang penyelewengan yang disebarkan Ibnu Arabi itu. Di antara pendapat dari Ibnu Arabi dan pengikut-pengikutnya adalah:

- Wali lebih tinggi dari nabi (Masra' At-Tasawwuf, 22).
- Untuk sampai kepada Allah, tidak perlu mengikuti ajaran para nabi (syara'), (Masra' At-Tasawwuf, 20).
- Semua ini adalah Allah, tidak ada nabi/rasul atau malaikat. Allah adalah manusia besar. ( Fushush Al-Hukm, 48, Masra' At-Tasawwuf, 38).
- Tidak sah khilafah kecuali kepada insan kamil.
- Allah membutuhkan pertolongan makhluk. (Fushush Al-Hukm, 58-59).
- Nabi Nuh as. termasuk orang kafir (Masra' at-Tasawwuf, 46-47).
- Da'wah kepada Allah adalah tipu daya. (Fushush Al-Hukm, 772/Masra' At-tasawwuf, 66).
- Al-haq adalah al-khalq/ makhluq (Masra' At-Tasawwuf, 62).
- Hukum alam adalah Allah itu sendiri. (Masra' At-Tasawwuf, 70).
- Hamba adalah Tuhan. (Fushush Al-Hukm, 92-93; Masra' at-Tasaw¬wuf, 75).
- Neraka adalah surga itu sendiri. (Fushush Al-Hukm, 93-94).
- Al-Quran mempunyai dua arti, lahir dan batin.
- Dalam anggapan Ibnu Arabi, dia berkumpul dengan para nabi.
- Perbuatan hamba adalah perbuatan Allah itu sendiri. (Fushush Al-Hukm, 143).
- Ad-dhal (orang yang sesat) adalah al-muhtadi (orang yang mendapat petunjuk), al-kafir adalah al-mu'min. (Masra' at-Tasawwuf, 108).
- Hawa nafsu adalah tuhan terbesar.
- Fir'aun adalah mukmin dan terbebas dari siksa neraka. (Fushush Al-Hukm, 181; Masra' At-Tasawwuf, 111).
- Wanita adalah tuhan. (Fushush Al-Hukm, 216; Masra' at-tasawwuf, 143).
- Hakekat ketuhanan tampak jelas dan utuh pada nabi-nabi as.
- Fir'aun adalah tuhan Musa. (Fushush Al-Hukm, 209; Masra' at-Tasawwuf, 122).
Setelah mengemukakan pendapat-pendapat Ibnu Arabi tersebut, yayasan Al-Qalam yang membantah Dr Nurchalish Madjid lewat risalah kecil itu berkomentar: "Demikianlah pendapat-pendapat Ibnu Arabi dan pengikut-pengikutnya yang kacau balau, dan jelas bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah, bertebaran dalam kitab-kitab yang mereka tulis." (Jawaban Tuntas untuk Dr Nurchalish Madjid, hal 4).

Semua pendapat yang kacau balau dari Ibnu Arabi itu, menurut Yayasan Al-Qalam, tampak jelas pada tulisan-tulisan atau syair-syair yang tercantum dalam kitab-kitab yang ditulis oleh Ibnu Arabi dan pengikut-pengikutnya antara lain Ibnu Faridh.

Menurut pengakuan Ibnu Arabi, kitab Futuhat al-Makiyyah adalah Imla' (dikte) langsung dari Allah SWT kepadanya. Sementara itu Kitab Fushul Al-Hukm karangan Ibnu Arabi pula adalah pemberian langsung dari Rasulullah saw. kepadanya. (Ensyclopedi Britanica: 12/33). Padahal, jarak waktunya sangat jauh. Rasulullah saw. wafat abad ke tujuh Masehi, sedang Ibnu Arabi hidup pada abad ke 13 Masehi.

Banyak ulama yang mengkafirkan Ibnu Arabi

Selanjutnya, risalah Jawaban Tuntas untuk Dr Nurchalish Madjid menjelaskan: Karena pendapat-pendapat Ibnu Arabi (yang bertentangan dengan Islam) ini, maka banyak ulama yang mengkufurkan atau mengilhadkannya atau menghukumi murtad, walaupun ada sebagian kecil yang menerima pendapatnya bahkan menyiarkannya.

Sumber Bahan Bacaan