« »
« »
« »
Get this widget

2.27.2011

MENGENAL AHMADIYAH LEBIH DEKAT

Agus Salim (Mahasiswa FAI-UMSU dan Alumni Kader Ulama MUI-SU)

Berbicara tentang Ahmadiyah, berarti membicarakan sejarah Mirza Ghulam Ahmad selaku pendiri aliran yang mengundang kontroversi di tanah air ini. Mirza Ghulam Ahmad lahir dari keturunan terhormat di daerah Qadiyan pada tahun 1839, wafat pada tahun 1908. Menurut suatu keterangan, keluarga Mirza Ghulam Ahmad berasal dari keturunan Haji Barlas dari dinasti Mughal. Inilah alasannya di depan nama keturunan keluarga ini terdapat sebutan Mirza.

Semasa kecilnya Mirza Ghulam Ahmad mendapat pendidikan agama secara tradisional dari keluarganya. Sedangkan pendidikan dasar ia peroleh di kampungnya sendiri. Kemudian meneruskan pelajarannya di kota Batala dekat kota Qadiyan. Sewaktu mudanya ia diasuh ayahnya dalam mengurus tanah pertaniannya, kemudian ia menjadi pegawai pada pemerintah Inggris di Sialkot sejak 1864-1868.

Pada awal kegiatannya, Mirza Ghulam Ahmad diterima oleh masyarakat luas termasuk dari kalangan masyarakat Islam ortodoks. Akan tetapi, sesudah Mirza Ghulam Ahmad mengeluarkan suatu pernyataan dan dakwaan yang dianggap keluar dari ajaran Islam, masyarakat berbalik memusuhi dan menghinanya.

Pada usia 54 tahun Mirza Ghulam Ahmad mengaku sering mendapat petunjuk atau wahyu dari Allah swt. Dia mengatakan bahwa wahyu itu tidak terbatas di masa lampau saja, tetapi Tuhan tetap berfirman kepada siapa saja yang dipilih-Nya sampai hari ini. Selain itu, di saat yang sama, ia pun menyatakan bahwa dirinya adalah Mujaddid atau renovator abad ke-14, karena ia merasa telah ditunjuk oleh Tuhan untuk mempertahankan Islam. Dari pengakuan inilah golongan Ahmadi ketika itu beranggapan bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai Mujaddid.

Pengakuan Mirza Ghulam Ahmad sebagai al-Mahdi sekaligus sebagai penjelmaan Isa al-Masih menerima wahyu secara berulang-ulang dan berkesinambungan merupakan pengalaman rohaniah yang menenangkan hatinya. Akan tetapi, justru pengakuan tersebut menggelisahkan umat Islam. Dari pernyataannya yang aneh tersebut, Mirza Ghulam Ahmad menghadapi gelombang permusuhan yang dahsyat dari intern umat Islam.

Mirza Ghulam Ahmad menyatakan dirinya sebagai reformer abad ke-14 sekaligus sebagai al-Masih (penyelamat) yang dijanjikan dengan alasan realisasi dari hadis Nabi Muhammad saw. yang artinya, “Sesungguhnya Allah akan mengatur umat ini (Islam) pada ujung setiap 100 tahun (1 abad) seorang pembaru agamanya.” (HR. Abu Daud).

Selanjutanya dia mengatakan telah menerima wahyu dari Tuhan. Dalam wahyu itu diterangkan bahwa al Masih dan al Mahdi yang dijanjikan itu adalah dirinya. Dalam pengakuan itu ia mengatakan, "Dan Tuhan telah memberitahukan kepadaku (dengan firman-Nya); "Bahwa al-Masih dan al-Mahdi yang dijanjikan dan ditunggu-tunggu itu adalah engkau (Mirza) dan Kami (Allah) melakukan apa yang Kami kehendaki, dan janganlah engkau tergolong orang-orang yang membuat kedustaan". Allah berfirman lagi, "Sungguh Kami (Allah) menjadikan engkau sebagai al-Masih ibn Maryam." Maka Allah pun melimpahkan keindahan rahasia-Nya dan menjadikan aku dapat melihat masalah-masalah yang sekecil-kecilnya."

Dalam merealisasikan ide pembaharuannya, Mirza di awal Desember 1888, dengan cara terang-terangan menyatakan dirinya telah mendapat perintah dari Tuhan untuk menerima baiat dari jamaatnya. Isi baiatnya antara lain, menjauhi perbuatan syirik, melaksanakan salat lima kali sehari semalam, beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi Muhammad saw., taat dan patuh kepada ajaran Alquran, dan bersikap sopan santun.
Isi baiat di atas tidak bertentangan dengan Alquran. Tetapi dalam baiat ini tidak disebut kewajiban zakat dan haji. Dalam riwayat hidupnya Mirza Ghulam Ahmad tidak pernah melaksanakan haji dengan alasan belum istitha’ah (mampu).

Ikrar baiat lainnya yang harus diucapkan oleh seorang anggota adalah persaudaraan dengan Mirza Ghulam Ahmad. Dengan konsekuensi, jika anggota meninggal maka segala harta kekayaan dikelola Mirza Ghulam Ahmad. Ikrar ini merupakan ajaran tertinggi di kalangan Ahamadiyah.

Dengan cara ini, ia ingin menghimpun suatu kekuatan yang dapat menopang misi dan cita-cita kemahdiannya guna menyerukan Islam ke seantero dunia. Menurut keyakinannya, mempertahankan dan mempropagandakan Islam tidak akan berhasil tanpa suatu organisasi yang kuat. Untuk mewujudkan tujuan ini, ia memerlukan baiat atau janji setia dari para pengikutnya. Sesudah diadakan pembaiatan, ia mengorganisasikan mereka menjadi suatu aliran baru dalam Islam dengan nama Jamaah Ahmadiyah.
Mirza Ghulam Ahmad mengumumkan penggunaan nama "Ahmadiyah" secara resmi pada tanggal 4 November 1900. Sejak itulah nama aliran ini dimasukkan dalam catatan resmi pemerintah kolonial Inggris. Menurut penjelasan Maulana Muhammad Ali nama Ahmadiyah bukan diambil dari nama Mirza Ghulam Ahmad. Akan tetapi diambil dari salah satu nama-nama Rasulullah saw. yang ada dalam surah ash-Shaf: 6 yang isinya memuat informasi Nabi Isa kepada Bani Israil yang menerangkan bahwa sesudah Nabi Isa nanti akan datang seorang nabi yang bernama Ahmad. Menurut keterangan yang lain bahwa nama Ahmadiyah dinisbahkan kepada nama belakang pendirinya Mirza Ghulam Ahmad.
Setelah Mirza Ghulam Ahmad sudah tiada, kepemimpinan Ahmadiyah digantikan oleh Maulawi Nuruddin yang dikenal khalifah pertama Ahmadiyah. Kekhalifahannya berakhir sampai ia meninggal. Selama kekhalifahan Maulawi Nuruddin, Ahmadiyah sebagai gerakan Mahdi telah memperoleh kemajuan pesat dan mulai dikenal di kalangan umat Islam secara luas. Sesudah itu, kekhalifahan kedua dipegang oleh Maulawi Basyiruddin Mahmud Ahmad (putra Mirza Ghulam Ahmad).

Saat ini Ahmadiyah telah memiliki 5 khalifah di antaranya adalah:
1. Khalifah I Hadhrat Hakim Maulana Nuruddin (27 Mei 1908 - 13 Maret 1914)
2. Khalifah II Hadhrat Alhaj Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad (14 Maret 1914 - 7 November 1965)
3. Khalifah III Hadhrat Hafiz Mirza Nasir Ahmad (8 November 1965 - 9 Juni 1982)
4. Khalifah III Hadhrat Mirza Tahir Ahmad (10 Juni 1982 - 19 April 2003)
5. Khalifah IV Hadhrat Mirza Masrur Ahmad (22 April 2003 – sekarang) (sumber http://id.wikipedia.org/)

Pada masa kekhalifahan kedua ini timbul pertikaian dalam tubuh Ahmadiyah sendiri. Pada masa ini muncul pernyataan yang tegas dari Basyiruddin Mahmud Ahmad, ia menempatkan Mirza Ghulam Ahmad sebagai seorang nabi. Pernyataan ini tentunya ditolak oleh sebagian anggota jamaah Ahmadiyah. Tepatnya pada tahun 1914 Ahmadiyah terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama bernama Qadiyani. Kelompok ini dalam ajarannya mencela muslim lain sebagai kafir, kota Qadiyani sebagai kota ketiga setelah Mekah dan Madinah, Nabi Isa tidak mati disalib dan tidak pula diangkat ke langit, tetapi Nabi Isa hanya pingsan di tiang salib. Setelah itu Nabi Isa diselamatkan oleh pengikutnya, kemudian Nabi Isa pindah ke Kashmir. Di Kahsmir inilah Nabi Isa beristri dan berketurunan. Salah satu keturunannya bernama Mirza Ghulam Ahmad, dan sekte ini berkeyakinan bahwa kenabian tetap terbuka sesudah Rasulullah saw. Sekte ini dipimpin oleh Basyiruddin Mahmud Ahmad. Kelompok ini berpandangan bahwa Mirza Ghulam Ahmad tidak hanya sebagai mujaddid (pembaru) saja, tetapi juga sebagai nabi yang harus ditaati dan dipatuhi seluruh ajarannya. Oleh karena itu, terpilihnya Basyiruddin Mahmud sebagai Khalifah al-Mahdi yang kedua, tidak mendapat dukungan penuh dari seluruh pengikut Ahmadiyah.

Kelompok kedua dikenal sebagai Ahmadiyah Lahore, yang disebut pula dengan Ahmadiyah Anjuman Isha'at Islam. Kelompok ini berpandangan bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanya sebagai mujaddid (pembaru) saja, bukan seorang nabi. Untuk pertama kalinya golongan ini dipimpin oleh Maulawi Muhammad Ali. Di Indonesia golongan ini dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI). Sedangkan kelompok kedua disebut dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).

M.B. Shamsir Ali, SH, SHD dalam situs resmi Ahmadiyah mengatakan bahwa Ahmadiyah adalah sebuah Jamaah Islam yang didirikan oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad pada tahun 1889 Masehi/1306 Hijriah, di Qadiyan India. Shamsir Ali mengutip pernyataan pendiri Ahmadiyah Mirza Ghulam Ahmad dalam kitab Taqrir Wajibul I’lan, bahwa pendiri mereka sungguh-sungguh percaya bahwa Nabi Muhammad saw. adalah khatamu al anbiya. Seorang yang tidak percaya pada khatamu al anbiya beliau (Rasulullah saw.), adalah orang yang tidak beriman dan berada di luar lingkungan Islam.

Namun dalam buku Benarkah Ahmadiyah Sesat dijelaskan bahwa Mirza Ghulam Ahmad mengakui bahwa ia pernah mengucapkan bahwa ia adalah seorang nabi. Menurut Ahmadiyah Lahore, ungkapan tersebut dalam arti kiasan seperti terjadi dalam arti pustaka Sufi. Sebagai terminologi yang sudah umum dapat diterima sebagai penerima komunikasi dengan Tuhan atau hanya arti lughawi saja yang artinya hanya untuk orang yang Allah berfirman kepadanya, dalam terminologi Islam hal tersebut tersebut muhaddas. Mungkin, hal inilah yang menjadi perseteruan Ahmadiyah sehingga terpecah menjadi dua kemlompok.

Walaupun aliran Ahmadiyah terpecah dua, kedua kelompok ini sangat aktif dan intensif dalam usaha mewujudkan cita-cita kemahdiannya. Pengikut masing-masing kelompok ini mendirikan mesjid-mesjid sebagai pusat kegiatan, menterjemahkan Alquran berikut dengan komentar-komentarnya ke dalam bahasa asing.

Pada tahun 1924 Ahmadiyah masuk ke dalam negara Indonesia yang dibawa oleh dua orang mubaligh Ahmadiyah yang bernama Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad. Ahmadiyah yang dimaksud adalah Ahmadiyah Lahore. Mereka memulai kegiatannya di Yogyakarta.
Padat tahun 1925 Ahmadiyah sekte Qadiyan menyusul datang ke Indonesia dibawa oleh seorang mubalighnya bernama Rahmad Ali. Mereka mendakwahkan ide kemahdian Mirza, di Tapaktuan (Aceh), dua tahun kemudian ia pindah ke Padang sampai tahun 1930, dan akhirnya bermukim di Jakarta. Kedua sekte tersebut berlomba untuk menanamkan pengaruhnya di Indonesia.

Perlu diketahui bahwa Ahmadiyah sangat dekat Inggris. Di samping itu, pendiri Ahmadiyah juga melestarikan tradisi keluarganya yang telah lama menjalin hubungan mereka dengan pemerintah Inggris, sebagaimana pernyataan Mirza Ghulam Ahmad sendiri, "Sungguh sejak masa mudaku sampai hari ini, aku dalam usia 60 tahun, aku menjadi orang yang gigih berjuang dengan lisan dan penaku supaya aku dapat memalingkan keikhlasan hati kaum Muslimin kepada pemerintah Inggris karena kebaikannya, dan bersikap lunak kepadanya. Dan aku mengajak mereka, agar mereka menghilangkan pikiran untuk berjihad (terhadap Inggris), di mana pikiran seperti itu masih diikuti oleh sebagian mereka yang bodoh-bodoh, dan pikiran semacam itulah yang mencegah mereka tidak mau patuh kepada pemerintah Inggris."

Demikian pula halnya dengan pernyataan Basyiruddin Mahmud putera Mirza Ghulam Ahmad sewaktu Putera Mahkota Kerajaan Inggris berkunjung ke India, menyatakan, "Kami atas nama seluruh warga Ahmadiyah mengucapkan selamat datang atas kunjungan Tuan ke India, dan kami tegaskan kepada Tuan bahwa warga Ahmadiyah adalah setia kepada pemerintah Inggris. Dan insya Allah kesetiaan warga Ahmadiyah ini akan tetap untuk selama-lamanya."

Sebenarnya aliran Ahmadiyah jauh-jauh hari sudah difatwakan sesatnya. Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam Muktamar II di Jeddah, Arab Saudi pada 22-28 Desember 1985 M tentang Ahmadiyah menyatakan antara lain menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad dan menerima wahyu adalah murtad dan keluar dari Islam karena mengingkari ajaran Islam yang qath’i. sedangkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam musyawarah nasional dalam munas nasional telah menfartwakan Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam).
Keluarnya fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendapat respon dari Ahmadiyah Lahore dengan adanya maklumat nomor 01/PB-MA/GAI/005. Dalam maklumat itu mereka menjelaskan bahwa paham mereka berseberangan dengan paham Ahmadiyah Qadiyani. Mereka menegaskan bahwa Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) berasaskan Alquran yang merupakan kitab suci satu-satunya umat Islam, mengakui Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir.

Pemerintah selaku ulil amri turut serta mengambil kebijakan tentang Ahmadiyah dengan keluarnya surat Keputusan Bersama Menteri (SKB 3 Menteri) Nomor 3 Tahun 2008. Dalam keputusannya dalam dijelaskan bahwa memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dri pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.

Tidak ada komentar: