« »
« »
« »
Get this widget

10.04.2010

Kapita Selekta

Kondisi Pendidikan Islam
Teknologi modern telah memungkinkan terciptanya komunikasi bebas lintas benua, lintas negara, menerobos sebagai pelosok perkampungan di pedesaan dan menyelusup di gang-gang sempit di perkotaan, melalui media audio, audio visual dan sebagainya. Fenomena modern yang terjadi di awal milenium ketiga ini popular dengan sebutan globalisasi.
Memasuki era baru, era kebersatuan umat manusia (globalisasi) seperti sekarang ini, pendidikan Islam dihadapkan kepada berbagai macam persoalan yang semakin erat. Sementara di hadapannya, dunia social masyarakat sedang diterpa krisis moralitas. Melalui media massa dan elektronik dapat diperoleh informasi mengenai berbagai gejala dekadensi moral yang akhir-akhir ini sering terjadi, khususnya di kota-kota besar.

Menurut M.Irsjad Djuwaeli yang dikutip oleh Akmal Hawi, “Ternyata gejala yang sama terjadi dalam dunia pendidikan yang ditandai dengan maraknya tawuran, kekerasan antar pelajar, bahkan penyalahgunaan obat-obat terlarang”. Kecenderungan tersebut tampaknya merupakan fenomena yang terkait dengan ketidakmampuan lembaga pendidikan dalam memperkuat kelembagaan nilai-nilai Islam bagi kehidupan individual dan sosial, sehingga manusia mengalami keterasingan, yang makin lama makin mendorongnya kepada hilangnya orientasi kemanusiaan.
Oleh karena itu, dalam menghadapi peradaban modern, yang perlu diselesaikan adalah
persoalan-persoalan umum internal pendidikan Islam yaitu (1) persoalan dikotomik, (2) tujuan dan fungsi lembaga pendidikan Islam, (3) persoalan kurikulum atau materi. Ketiga persoalan ini saling interdependensi antara satu dengan lainnya.
Pertama, persoalan dikotomik pendidikan Islam, yang merupakan persoalan lama yang belum terselesaikan sampai sekarang. Pendidikan Islam harus menuju pada integritas antara ilmu agama dan ilmu umum untuk tidak melahirkan jurang pemisah antara ilmu agama dan ilmu bukan agama. Karena, dalam pandangan seorang Muslim, ilmu pengetahuan adalah satu yaitu yang berasal dari Allah SWT.

Kedua, perlu pemikiran kembali tujuan dan fungsi lembaga-lembaga pendidikan Islam (Anwar Jasin, 1985 : 15) yang ada. Memang diakui bahwa penyesuaian lembaga-lembaga pendidikan akhir-akhir ini cukup mengemberikan, artinya lembaga-lembaga pendidikan memenuhi keinginan untuk menjadikan lembaga-lembaga tersebut sebagai tempat untuk mempelajari ilmu umum dan ilmu agama serta keterampilan. Tetapi pada kenyataannya penyesuaian tersebut lebih merupakan peniruan dengan pola tambal sulam atau dengan kata lain mengad opsi model yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum, artinya ada perasaan harga diri bahwa apa yang bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum dapat juga dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan agama, sehingga akibatnya beban kurikulum yang terlalu banyak dan cukup berat dan terjadi tumpang tindih. Sebenarnya lembaga-lembaga pendidikan Islam harus memilih satu di antara dua fungsi, apakah mendesain model pendidikan umum Islami yang handal dan mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain, atau mengkhususkan pada desain pendidikan keagamaan yang berkualitas, mampu bersaing dan mampu mempersiapkan mujtahid-mujtahid yang berkualitas.
Ketiga, persoalan kurikulum atau materi Pendidikan Islam, materi pendidikan Islam "terlalu dominasi masalah-maslah yang bersifat normatif, ritual dan eskatologis. Materi disampaikan dengan semangat ortodoksi kegamaan, suatu cara dimana peserta didik dipaksa tunduk pada suatu "meta narasi" yang ada, tanpa diberi peluang untuk melakukan telaah secara kritis. Pendidikan Islam tidak fungsional dalam kehidupan sehari-hari, kecuali hanya sedikit aktivitas verbal dan formal untuk menghabiskan materi atau kurikulum yang telah diprogramkan dengan batas waktu yang telah ditentukan.

Pendidikan Islam dalam Menghadapi Era Globalisasi
Pendidikan mempunyai peran besar sekali untuk menimbulkan perubahan pada diri umat Islam. Melalui pendidikan dapat dibentuk kondisi mental yang lebih kondusif untuk mengembangkan kebangkitan moral spiritual yang dikehendaki. Demikian pula penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat diusahakan melalui pelaksanaan pendidikan yang tepat. Namun
harus pula disadari bahwa hasil dari proses pendidikan baru terasa secara sungguh-sungguh setelah berlalunya satu generasi. Oleh karena kebangkitan Islam sekarang sudah berjalan maka pendidikan harus dibarengi dengan terbentuknya kepemimpinan yang dapat menjalankan proses perubahan tersebut sejak sekarang. Bahkan kepemimpinan itu sangat penting untuk menimbulkan proses pendidikan yang diperlukan.
Proses pendidikan meliputi banyak sekali segi dan sebenarnya setiap kegiatan manusia mengandung unsur pendidikan. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa pendidikan meliputi sistem sekolah dan pendidikan luar sekolah. Dua hal itu harus saling mendukung untuk mencapai hasil yang optimal. Dalam pendidikan luar sekolah yang amat besar peranannya adalah
pendidikan di lingkungan keluarga sebab di lingkungan keluarga manusia lahir dan tumbuh di masa yang paling menentukan bagi pembentukan kepribadiannya.
Dalam kaitan ini, paling tidak terdapat tiga fungsi
yang dapat dimainkan lembaga pendidikan Islam yaitu :
1. Pendidikan Islam diharapkan menjadi pengaruh bagi norma-norma dan fungsi-fungsi kelembagaan agama Islam untuk mengatur kehidupan masyarakat yang dinamis, kreatif, produktif.
2. Pendidikan Islam senantiasa diharapkan menjadi penggerak perubahan bagi pemikiran keagamaan, baik secara idea maupun secara realita.
3. Pendidikan Islam harus dapat mengkoordinasikan ketiga lingkungan pendidikan yaitu :
a. Lingkungan sekolah (madrasah)
b. Lingkungan masyarakat
c. Lingkungan keluarga (Akmal Hawi, 2007 : 191)
Pendidik tidak hanya ada di tangan seorang ibu saja, tetapi juga ayah, kakak bahkan seorang adik. Keterlibatan orang tua juga diperlukan pada fase-fase berikutnya ketika anak mulai memasuki usia sekolah, baik SD, SMP maupun SMU. Menjelang masa pubertas yakni pada usia antara dua belas sampai delapan belas tahun anak menjalani episode yang sangat kritis di mana sukses atau gagalnya karir masa depan anak sangat tergantung pada periode ini. Rober Havinghurst, pakar psikolog Amerika, menyebutkan periode ini sebagai development task atau proses perkembangan anak menuju usia dewasa.
Apabilakita kaitkan periode developmental task ini pada aspek budaya kehidupan anak-anak Muslim, khususnya mereka yang tinggal di negara-negara non-Muslim atau di negara Islam tapi di kota-kota besar, dapat dibayangkan situasi yang mereka hadapi. Mereka tidak pernah atau jarang melihat sikap positif terhadap Islam, baik dalam keluarga, di sekolah maupun di masyarakat. Dalam situasi seperti ini tentu merupakan tanggung jawab orang tua untuk menanamkan nilai-nilai moral, barbagi pengalaman kehidupan Islami yang pada gilirannya nanti akan mengarah pada internalisasi misi Al-Qur’an dan Sunnah. Peran orang tua seperti ini akan sangat membantu anak dalam memasuki kehidupan yang fungsional sebagai Muslim yang dewasa dan sebagai anggota yang aktif dalam komunitas Islam. Apabila anak menampakkan tanda-tanda sikap yang negatif terhadap Islam yang
disebabkan oleh pengaruh dari sekolah atau masyarakat atau karena kecerobohan dan kelengahan orang tua, maka hal ini akan mengakibatkan penolakan anak terhadap hidup Islami dan akan gagal berintegrasi dengan komunitas Islam.
Oleh karena itu adalah tugas orang tua, khususnya dan utamnya,untuk mengatur strategi yangtepat dalam rangka membantu proses pembentukan pribadi anak khususnya dalam periode developmental task tersebut.. Dalam hal ini orang tua haruslah memiliki wawasan pengetahuan yang luas serta dasar pengetahuan agama yang mencukupi untuk menghindari kesalahan strategi dalam mendidik anak. Kedua, mengalokasikan waktu yang cukup untuk memberikan kesempatan bagi anak berinteraksi serta meresapi sikap-sikap Islami yang ditunjukkan oleh orang tua dalam perilaku kesehariannya. Persoalannya adalah secara factual tidak semua orang dapat memenuhi criteria-kriteria di atas yang disebabkan oleh hal-hal sebagai beriktu: (a) Orang tua, terutama ibu, tidak memiliki wawasan pengetahuan yang mempuni, khususnya di bidang pegagodi anak dan nilai-nilai dasar Islami. Dalam situasi semacam ini orang tua perlu mengambil langkah-langkah beriktu sebagai upaya mengantra anak menuju pintu gerbang masa depan yang cerah, sehat dan agamis.
Pertama, mendatangkan guru privat agama pada waktu usia anak di abwah dua belas tahun untuk mengajarkan nilai-nilai dasa Islam, termasuk cara membaca Al-Qur’an dan Hadits. Pada usia tiga belas tahun sampai dengan delapan belas tahun kandungan makna Al-Qur’an dan Hadits mulai diajarkan dengan metode yang praktis, sistematis dan komprehensif, mengingat pada periode ini anak sudah mulai disibukkan dengan pelajaran-pelajaran di sekolah. Dengan demikian diharapkan ketika memasuki bangku kuliah anak sudah memiliki gambaran yang utuh dan komprehensif tentang Islam, beserta nilai-nilai abadi yang terkandung di dalamnya. Sehingga ia tidak akan mudah menyerah terhadap tekanan-tekanan dan pengaruh-pengaruh luar yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, minimal ia akan tahu ke mana jalan untuk kembali ketika, oleh pengaruh eksternal yang terlalu kuat, ia melakukan penyimpangan-penyimpangan dari nilai-nilai Islam.
Kedua, menyekolahkan anak sejak dari SMP sampai SMU di lembaga-lembaga Islam semacam pesantren modern yang saat ini sudah banyak memiliki sekolah-sekolah umum yang berkualitas. Ketiga, memasukkan anak sejak TK sampai SMU di lembaga-lembaga pendidikan yang memakai lebel Islam, seperti yayasan Muhammadiyah, yayasan NU, yayasan al-Azahar dan lain-lain. Akan tetapi alternatif ketiga ini dalam pengamatan penulis tidak begitu efektif. Salah satu sebabnya adalah karena kurang komprehensifnya kurikulum keislaman di dalamnya. Kendatipun begitu, ini jauh lebih baik disbanding, misalnya, memasukkan anak ke sekolah-sekolah non-Muslim. Memang menyekolahkan anak ke sekolah-sekolah non-Muslim tidak berarti anak tersebut akan terkonversi ke agama lain, tetapi dampak minimal yang tak terhindarkan adalah timbulnya sikap skeptis dan apatis anak terhadap Islam.
Alhasil, semakin kuat nilai-nilai agama tertanam akan semakin kokoh resistansi anak terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari luar. Ada juga terdapat beberapa hal yang dapat digunakan sebagai upaya untuk kembali membangkitkan dan menempatkan dunia pendidikan Islam pada peran yang semestinya sekaligus bersifat aktif progesif yaitu :
1. Menempatkan kembali seluruh aktivitas pendidikan di bawah frame agama
2. Adanya perimbangan antara disiplin ilmu agama dan pengembangan intelektualitas dan kurikulum pendidikan. Salah satu faktor utama dari marginalisasi dalam dunia pendidikan Islam adalah kecenderungan untuk lebih menitikberatkan pada kajian agama dan memberikan porsi yang berimbang
pada pengembangan ilmu non agama, bahkan menolak kajian-kajian non agama. Oleh karena itu, penyeimbangan antar materi agama dan non agama dalam dunia pendidikan Islam adalah sebuah keniscayaan jika ingin dunia pendidikan Islam kembali survive di tengah masyarakat.
3. Perlu diberikan kebebasan kepada civitas akademika untuk melakukan pengembangan keilmuan secara maksimal. Mulai mencoba melaksanakan strategi pendidikan yang membumi. Artinya, strategi yang dilaksanakan disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan di mana proses pendidikan tersebut dilaksanakan. Dengan strategi ini diharapkan pendidikan Islam akan mampu menghasilkan sumber daya yang benar-benar menghadapi tantangan zaman dan peka terhadap lingkungan (M.Khoirul Anam, from : http : // www.pendidikan.net/mk-anak.html, akses : 12/8/2003).
Oleh karena itu, pendidikan Islam harus dapat mengembangkan kemampuan dan tingkah laku manusia yang dapat menjawab tantangan internal maupun tantangan global menuju masyarakat Indonesia yang demokratis, berkualitas dan kritis. Pendidikan harus dikembangkan berdasarkan tuntutan acuan perubahan tersebut dan berdasarkan karakteristik masyarakat yang demokratis, berkualitas dan kritis. Sedangkan untuk menghadapi kehidupan global, proses pendidikan Islam yang diperlukan adalah mampu mengembangkan kemampuan berkompetensi, kemampuan kerja sama, mengembangkan sikap inovatif, serta meningkatkan kualitas. Dengan acuan ini secara pasti yang akan terjadi adalah penggeser paradigma pendidikan, sehingga kebajikan dan strategi pengembangan pendidikan perlu diletakkan untuk menangkap dan memanfaatkan semaksimal mungkin kesempatan tersebut, apabila tidak maka pendidikan Islam akan menjadi pendidikan yang “termarginalkan” dan tertinggal di tengah-tengah kehidupan masyarakat global.
Pergeseran drastis paradigma pendidikan sedang terjadi, dengan terjadinya aliran informasi dan pengetahuan yang begitu cepat dengan efisiensi penggunaan jasa teknologi informasi internet yang memungkinkan tembusnya batas-batas dimensi ruang, birokrasi, kemampuan dan waktu. Penggeseran paradigma tersebut juga didukung dengan adanya kemauan dan upaya untuk melakukan reformasi total di berbagai aspek kehidupan bangsa dan negara menuju masyarakat madani Indonesia, termasuk pendidikan.
Oleh karena itu, pergeseran paradigma pendidikan tersebut juga diakui sebagai akibat konsekuensi logis dari perubahan masyarakat, yaitu berupa keinginan untuk merubah kehidupan masyarakat Indonesia yang demokratis, berkeadilan, menghargai hak asasi manusia, taat hukum, menghargai perbedaan dan terbuka menuju masyarakat madani Indonesia.
Selanjutnya, terjadi perubahan paradigma pendidikan juga sebagai akibat dari “percepatan aliran ilmu pengetahuan yang akan menantang sistem pendidikan konvensional yang antara lain sumber ilmu pengetahuan tidak lagi terpusat pada lembaga pendidikan formal SD,SMP,SMU,PT] yang konvensional. Sumber ilmu pengetahuan akan tersebar dimana-mana dan setiap orang akan dengan mudah memperoleh pengetahuan tanpa kesulitan. Paradigma ini dikenal sebagai distributed ntelligence [distributed knowledge]” [ Onno W. Purbo, Tantangan Bagi Pendidikan Indonesia, From: http:// www. detik. com/net/ onno/ jurnal/ 2004/ aplikasi/pendidikan/p-19.shtml. 2000].
Pendidikan Islam adalah proses bimbingan perkembangan jasmani maupun rohani manusia melalui ajaran Islam dengan memperhatikan fitrah manusia di mana manusia mampu
melaksanakan tugas-tugas hidupnya sesuai dengan tujuan pencipta-Nya yaitu mengabdi kepada Allah yang berlandaskan al-Qur'an dan al-Hadits.
Dalam era globalisasi ini, era kebersatuan umat manusia seperti sekarang ini, pendidikan Islam dihadapkan kepada berbagai macam persoalan seperti krisisnya moralitas, maraknya tawuran, kekerasan antar pelajar atau hal-hal yang keluar dari nilai-nilai Islam. Oleh karena untuk menghadapi hal-hal tersebut maka paling tidak terdapat tiga fungsi yang dapat dimainkan lembaga pendidikan Islam yaitu :
1. Pendidikan Islam diharapkan menjadi pengaruh bagi
norma-norma dan fungsi-fungsi kelembagaan yang dinamis, kreatif, produktif.
2. Pendidikan Islam senantiasa diharapkan menjadi penggerak perubahan bagi pemikiran agama.
3. Pendidikan Islam harus dapat mengkoordinasikan ketiga lingkungan pendidikan yaitu lingkungan sekolah, masyarakat dan keluarga.

Dikutip dari http://zanikhan.multiply.com/journal/item/8503?mark_read=zanikhan:journal:8503

Tidak ada komentar: